Widget edited by super-bee

Minggu, 28 April 2013

Binasalah Orang-orang yang Berlebihan

Sikap untuk meninggalkan berlebihan adalah faktor terpenting bagi tercapainya persatuan dan keakraban sesama Muslim. Sikap berlebih-lebihan akan mengakibatkan kehancuran sebagaimana disebutkan Nabi saw kepada para sahabatnya. Dari Ibnu Mas’ud ra, bahwa Nabi saw bersabda: “Binasalah orang-orang yang berlebih-lebihan”, tiga kali Rasulullah menyebutkan hadits ini, baik sebagai berita tentang kehancuran mereka ataupun sebagai do’a untuk kehancuran mereka. (Diriwayatkan oleh Muslim (2670)).
Orang-orang yang berlebih-lebihan ini, seperti dikatakan oleh Imam Nawawi, ialah orang-orang yang ucapan
dan perbuatan mereka terlalu dalam dan melampaui batas. (Syarhun Nawawi ‘ala Muslim, 5/525, terbitan Asy Sa’b, Kairo).

Ibnu al-Atsir berkata: “Mereka adalah orang-orang yang omongannya terlalu jauh dan melampaui batas. Orang-orang yang berbicara dengan ujung tenggorokannya. Asal kata natha’ (berlebih-lebihan) berarti bagian atas dari mulut, kemudian kata ini dipakai untuk setiap ucapan dan perbuatan yang terlalu jauh dan mendalam. Diantaranya adalah hadits Umar ra:
“Kalian akan tetap baik selama kalian menyegerakan berbuka (puasa) dan tidak berlebih-lebihan dalam berbicara seperti cara bicara orang-orang Irak.”

Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud: “Jauhkanlah dirimu dari berlebih-lebihan (tanaththu’) dan perpecahan”. Yakni berlebih-lebihan dalam membaca berbagai macam qira’at. (An Nihayah, Ibnul Atsir, 5/74, terbitan Isa Al Halabi, Tahqiq Ath Thanahi).
 Ulama yang lain mengatakan: “Yang dimaksud orang-orang yang berlebih-lebihan ialah orang-orang yang berlebih-lebihan dalam ibadah mereka sehingga keluar dari tatacara syari’at dan mengikuti bisikan keraguan syetan”.
Dikatakan: “Mereka adalah orang-orang yang terlalu dalam menayakan masalah-masalah pelik yang jarang terjadinya. Diantaranya terlalu banyak menyebutkan cabang-cabang suatu permasalahan yang tidak ada dasarnya di dalam al-Qur’an ataupun as-Sunnah. Permasalahnnya sebenarnya jarang terjadi, tetapi terlalu banyak perhatian yang diberikan kepadanya.
Lebih parah lagi dari itu ialah membahas masalah-masalah tertentu yang kita diperintahkan syari’at untuk mengimaninya tanpa mencari ‘bagaimana’-nya. Diantaranya membahas sesuatu yang tidak punya bukti di dunia empirik, seperti pertanyaan tentang hakikat hari kiamat, ruh dan lain sebagainya.
Ulama yang lain berkata: “Contoh berlebih-lebihan ialah memperbanyak pertanyaan sehingga orang yang ditanya memberikan jawaban “tidak boleh” setelah sebelumnya memfatwakan “boleh”. (Faidhul Qadir, 6/355).
Kesemuanya ini termasuk “kesusahan” yang telah dijauhkan Allah dari Din Islam. Islam adalah Din yang didasarkan pada prinsip “memudahkan bukan menyulitkan dan memberikan kabar gembira bukan membuat orang lari”.
Sabda Nabi saw dari Ibnu Abbas:
“Jauhkanlah diri kamu dari berlebih-lebihan dalam agama karena orang-orang sebelum kamu hancur hanya sebab berlebih-lebihan dalam agama”. (Diriwayatkan oleh Ahmad, Nasa’i, Ibnu Majjah, Al-Hakim, Ibnu Huzaimah dan Ibnu Hibban dari Ibnu Abbas sebagaimana di dalam shahih Jami’ (2680)).
Sikap berlebih-lebihan dalam agama ini akan mendorong tumbuhnya sikap memperketat masalah-masalah kecil dan bersempit dada kepada setiap orang yang berbeda pendapat. Sebaliknya sikap toleran dan tidak mempersulit adalah termasuk faktor tumbuhnya persatuan dan keakraban.
Semangat inilah yang menjadikan para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, dapat mentolerir perbedaan-perbedaan dalam masalah juz’iah dan tidak bersempit dada terhadap pendapat yang berbeda.
Bahkan mereka mengingkari orang-orang yang kesibukannya hanya mencari-cari masalah (perbedaann furu’). Mereka tidak bersedia menanggapi setiap pertanyaan yang tidak akan melahirkan kecuali kesulitan dan keketatan.
Al-Qur’an sendiri mengingatkan akan prinsip ini di dalam salah satu ayatnya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu al-Qur’an sedang diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu. Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun”. (Qs al-Maidah: 101)
Nabi saw juga melarang banyak bertanya yang akan mengakibatkan kesulitan dan keberatan atas kaum muslimin. Sabda Nabi saw:
“Orang Muslim yang paling besar kesalahannya ialah seseorang yang menanyakan sesuatu yang tidak diharamkan kemudian karena pertanyaannya sesuatu itu menjadi diharamkan”. (Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Al I’tisahm dan Muslim dalam Al Fadho’il dari Sa’d bin Abi Waqash, lihat Al Lu’lu’u wal Marjan (1521)).
“Janganlah engkau tanyakan kepadaku sesuatu yang aku biarkan untuk kamu, karena orang-orang sebelum kamu hancur hanya karena banyaknya pertanyaan mereka dan perselisihan mereka dengan para Nabi mereka. Apabila aku melarang kamu dari sesuatu maka jauhilah dia dan apabila aku memerintahkan sesuatu kepada kamu maka lakukanlah semaksimal mungkin; dan jika aku mencegah kamu dari sesuatu maka tinggalkanlah dia”. (Diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari, Muslim, Nasa’I dan Ibnu Majjah dari Abu Hurairah. Lihat: Al Lu’lu’u wal Marjan (846) dan Shahihul Jami’ (3430)).
Hadits ini mengisyaratkan tentang Bani Israel dalam kisah penyembelihan lembu dan pertanyaan mereka berlebih-lebihan: “Bagaimana bentuknya?, bagaimana warnanya?, bagaimana….?” (Lihat Qs al-Baqarah: 67-71). Seandainya mereka langsung menyembelih lembu yang mana saja setelah perintah yang pertama, niscaya sudah cukup. Tetapi mereka mempersulit diri maka Allah pun mempersulit mereka.

Anas ra meriwayatkan bahwa Rasulullah pernah ditanya oleh para sahabat dengan pertanyaan yang bertubi-tubi sampai membuat Rasulullah marah. Kemudian beliau naik mimbar seraya bersabda: “Janganlah kalian bertanya tentang sesuatu kepadaku pada hari ini kecuali apa yang telah aku jelaskan kepada kalian”. Anas ra berkata: Kemudian aku layangkan pandangan ke kanan dan ke kiri tiba-tiba setiap orang mengusap mukanya dengan pakaiannya karena menangis… Kemudian Umar ra bangkit seraya berkata: “Kami telah ridha Allah sebagai Rabb, Islam sebagai Din, dan Muhammad sebagai Rasul. Kami berlindung kepada Allah dari fitnah”. (Muttafaq ‘alaih, Al Lu’lu’u wal Marjan (1523)).
Peristiwa ini menjadi pelajaran berharga bagi para sahabat sehingga setelah itu mereka tidak mau bertanya kecuali hal-hal yang memang perlu ditanyakan.
Hal ini nampak dari pertanyaan-pertanyaan mereka kepada Nabi saw yang dicatat oleh al-Qur’an, tidak lebih dari tigabelas pertanyaan yang sebagian besar berkenaan dengan masalah-masalah praktis (terapan).
Demikian pula jawaban mereka terhadap setiap pertanyaan yang diajukan. Mereka selalu memberikan jawaban yang memudahkan tidak menyulitkan, memberikan kabar gembira tidak membuat orang lari, sebagaimana wasiat Rasulullah saw kepada mereka.
Prinsip umum yang dianut oleh para sahabat ialah tashil (memudahkan) dan musamahah (toleransi) dalam masalah furu’iah. Mereka menghindari kajian-kajian yang terlalu njlimet (rumit) dan terlalu mendalam, sehingga tidak membuat kemudahan menjadi kesulitan, dan kelapangan menjadi kesempitan. Padahal Allah telah meniadakan hal itu dari Din-Nya: “Dan tidaklah Dia menjadikan untuk kamu suatu kesempitan dalam agama”. (Qs al-Hajj: 78).

Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada Yusuf bin Mahik, ia berkata: “Pada waktu aku berada di sisi Aisyah Ummul Mu’minin ra datanglah seorang Irak kepadanya kemudian bertanya: “Kain kafan apakah yang paling baik?”. Aisyah ra menjawab: “Apa salahmu sampai bertanya begitu?”. Orang itu berkata: “Wahai Ummul Mu’minin, perlihatkanlah mushafmu kepadaku”. Aisyah ra berkata: “Kenapa?”. Orang itu berkata: “Agar aku membaca al-Qur’an sesuai dengannya karena ia dibaca tidak tertib”. Aisyah berkata: “Apa salahnya dengan bacaanmu terdahulu?”. (Diriwayatkan oleh Bukhari (4993). Lihat Fathul Bary, 9/38-39).

Al-Hafizh di dalam Fathul Bary berkata: “Barangkali orang Irak ini pernah mendengar hadits Samurah yang Marfu’ (bersambung sanad-nya kepada Nabi saw): “Pakailah pakaian putih dan pakailah ia untuk mengkafankan mayat-mayat kalian karena lebih bersih dan baik”. Hadits ini dishahihkan oleh Turmudzi dan diriwayatkan oleh Ibnu Abbas. Kemungkinan orang Irak tersebut pernah mendengar hadits ini kemudian ingin mengecek kebenarannya dari Aisyah ra. Karena penduduk Irak terkenal dengan banyak bertanya, maka Aisyah ra berkata kepadanya: “Apa salahmu?”, maknanya dengan kain kafan apa saja sudah cukup. Dalam pada itu perkataan Ibnu Umar kepada orang yang bertanya kepadanya tentang darah nyamuk sudah sangat masyhur. Ia berkata: “Perhatikanlah penduduk Irak, mereka bertanya tentang darah nyamuk padahal mereka pernah membunuh cucu Rasulullah saw”. (Fathul Bary, 9/39).

Mengapa ia meminta mushaf Ummul Mu’minin untuk dijadikan pedoman bacaannya? Nampaknya ia bertanya tentang tertib surat, karena mushafnya tidak tersusun sesuai tertib Mushaf Utsmani, tetapi tersusun sesuai Mushaf Ibnu Mas’ud. Sebab antara tertib Mushaf Utsmani dengan tertib Mushaf Ibnu mas’ud tidak sama.
Sekalipun demikian, Aisyah ra dalam hal ini tidak memandang sebagai bahaya besar bahkan ia berkata: “Apa salahnya dengan bacaanmu terdahulu?”.
 Al ‘Allamah Ad Dahlawi di dalam kitabnya Hujjatullahil Balighah menjelaskan kemudahan dan kesederhanaan para sahabat dalam memahami dan mengamalkan Islam ini. Katanya: “Rasulullah saw melakukan wudu’ dengan disaksikan oleh para sahabat kemudian para sahabat mengikutinya tanpa dijelaskan bahwa ini rukunn dan itu sunnah. Rasulullah saw shalat dengan disaksikan oleh para sahabat kemudian mereka mengikuti cara shalat sebagaimana yang mereka lihat. Rasulullah saw melaksanakan haji kemudian mereka pun melaksanakan haji sebagaimana dilakukan oleh Nabi saw. Demikian hampir seluruh amaliah Rasulullah saw. Beliau tidak menjelaskan bahwa fardhu wudhu ada enam atau empat. Juga tidak mengandaikan adanya orang yang berwudhu secara tidak tertib sehingga dinyatakan sah atau batal. Demikian pula para sahabat. Jarang sekali mereka bertanya tentang hal-hal semacam ini.

Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata: “Aku tidak melihat suatu kaum yang lebih baik dari para sahabat Rasulullah saw. Mereka tidak pernah bertanya kepadanya kecuali tentang tigabelas masalah hingga Nabi saw meninggal. Ketigabelas masalah itu semuanya tersebut di dalam al-Qur’an, diantaranya: “Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan haram. Katakanlah: “Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar…”. (Qs al-Baqarah: 217). Ibnu Abbas berkata: Mereka tidak pernah bertanya kepadanya kecuali tentang sesuatu yang bermanfaat bagi mereka”.

Ibnu Umar berkata: “Janganlah kamu bertanya tentang sesuatu yang tidak terjadi karena aku pernah mendengar Umar bin Khatab melaknati orang yang bertanya tentang sesuatu yang tidak terjadi”.

Al-Qasim berkata: “Sesungguhnya kalian bertanya tentang sesuatu yang tidak kami ketahui dan mengkaji terlalu mendalam hal-hal yang tidak pernah kami kaji. Kalian bertanya tentang banyak hal yang tidak aku ketahui. Seandainya telah diajarkan kepada kami tentang hal-hal itu pasti kami tidak boleh menyembunyikannya”.

Dari Umar bin Ishaq, ia berkata: “Aku tidak melihat suatu kaum yang lebih mudah dan gamblang sirahnya daripada para sahabat Rasulullah saw”.

Dari Ubaidah bin Yasar al-Kindi, ia ditanya tentang seorang wanita yang meninggal ditengah suatu kaum yang tidak mempunyai wali (pemimpin), lalu ia menjawab: “Aku belum pernah melihat suatu kaum yang menyulitkan diri seperti kalian dan bertanya seperti pertanyaan kalian”. Atsar-atsar ini diriwayatkan oleh ad-Darami. (Hujjatullahi al-Balighah, 1/140, 141).
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar