Orang-orang yang berlebih-lebihan ini,
seperti dikatakan oleh Imam Nawawi, ialah orang-orang yang ucapan
dan
perbuatan mereka terlalu dalam dan melampaui batas. (Syarhun Nawawi ‘ala
Muslim, 5/525, terbitan Asy Sa’b, Kairo).
Ibnu al-Atsir berkata: “Mereka adalah
orang-orang yang omongannya terlalu jauh dan melampaui batas.
Orang-orang yang berbicara dengan ujung tenggorokannya. Asal kata natha’
(berlebih-lebihan) berarti bagian atas dari mulut, kemudian kata ini
dipakai untuk setiap ucapan dan perbuatan yang terlalu jauh dan
mendalam. Diantaranya adalah hadits Umar ra:
“Kalian akan tetap baik selama kalian
menyegerakan berbuka (puasa) dan tidak berlebih-lebihan dalam berbicara
seperti cara bicara orang-orang Irak.”
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud:
“Jauhkanlah dirimu dari berlebih-lebihan (tanaththu’) dan perpecahan”.
Yakni berlebih-lebihan dalam membaca berbagai macam qira’at. (An
Nihayah, Ibnul Atsir, 5/74, terbitan Isa Al Halabi, Tahqiq Ath Thanahi).
Ulama yang lain mengatakan: “Yang
dimaksud orang-orang yang berlebih-lebihan ialah orang-orang yang
berlebih-lebihan dalam ibadah mereka sehingga keluar dari tatacara
syari’at dan mengikuti bisikan keraguan syetan”.
Dikatakan: “Mereka adalah orang-orang
yang terlalu dalam menayakan masalah-masalah pelik yang jarang
terjadinya. Diantaranya terlalu banyak menyebutkan cabang-cabang suatu
permasalahan yang tidak ada dasarnya di dalam al-Qur’an ataupun
as-Sunnah. Permasalahnnya sebenarnya jarang terjadi, tetapi terlalu
banyak perhatian yang diberikan kepadanya.
Lebih parah lagi dari itu ialah membahas
masalah-masalah tertentu yang kita diperintahkan syari’at untuk
mengimaninya tanpa mencari ‘bagaimana’-nya. Diantaranya membahas sesuatu
yang tidak punya bukti di dunia empirik, seperti pertanyaan tentang
hakikat hari kiamat, ruh dan lain sebagainya.
Ulama yang lain berkata: “Contoh
berlebih-lebihan ialah memperbanyak pertanyaan sehingga orang yang
ditanya memberikan jawaban “tidak boleh” setelah sebelumnya memfatwakan
“boleh”. (Faidhul Qadir, 6/355).
Kesemuanya ini termasuk “kesusahan” yang
telah dijauhkan Allah dari Din Islam. Islam adalah Din yang didasarkan
pada prinsip “memudahkan bukan menyulitkan dan memberikan kabar gembira
bukan membuat orang lari”.
Sabda Nabi saw dari Ibnu Abbas:
“Jauhkanlah diri kamu dari
berlebih-lebihan dalam agama karena orang-orang sebelum kamu hancur
hanya sebab berlebih-lebihan dalam agama”. (Diriwayatkan oleh
Ahmad, Nasa’i, Ibnu Majjah, Al-Hakim, Ibnu Huzaimah dan Ibnu Hibban dari
Ibnu Abbas sebagaimana di dalam shahih Jami’ (2680)).
Sikap berlebih-lebihan dalam agama ini
akan mendorong tumbuhnya sikap memperketat masalah-masalah kecil dan
bersempit dada kepada setiap orang yang berbeda pendapat. Sebaliknya
sikap toleran dan tidak mempersulit adalah termasuk faktor tumbuhnya
persatuan dan keakraban.
Semangat inilah yang menjadikan para
sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, dapat
mentolerir perbedaan-perbedaan dalam masalah juz’iah dan tidak bersempit
dada terhadap pendapat yang berbeda.
Bahkan mereka mengingkari orang-orang
yang kesibukannya hanya mencari-cari masalah (perbedaann furu’). Mereka
tidak bersedia menanggapi setiap pertanyaan yang tidak akan melahirkan
kecuali kesulitan dan keketatan.
Al-Qur’an sendiri mengingatkan akan prinsip ini di dalam salah satu ayatnya:
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu menanyakan hal-hal yang jika diterangkan kepadamu,
niscaya menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu al-Qur’an
sedang diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu. Allah memaafkan
(kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun”. (Qs al-Maidah: 101)
Nabi saw juga melarang banyak bertanya yang akan mengakibatkan kesulitan dan keberatan atas kaum muslimin. Sabda Nabi saw:
“Orang Muslim yang paling besar
kesalahannya ialah seseorang yang menanyakan sesuatu yang tidak
diharamkan kemudian karena pertanyaannya sesuatu itu menjadi diharamkan”.
(Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Al I’tisahm dan Muslim dalam Al
Fadho’il dari Sa’d bin Abi Waqash, lihat Al Lu’lu’u wal Marjan (1521)).
“Janganlah engkau tanyakan kepadaku
sesuatu yang aku biarkan untuk kamu, karena orang-orang sebelum kamu
hancur hanya karena banyaknya pertanyaan mereka dan perselisihan mereka
dengan para Nabi mereka. Apabila aku melarang kamu dari sesuatu maka
jauhilah dia dan apabila aku memerintahkan sesuatu kepada kamu maka
lakukanlah semaksimal mungkin; dan jika aku mencegah kamu dari sesuatu
maka tinggalkanlah dia”. (Diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari, Muslim,
Nasa’I dan Ibnu Majjah dari Abu Hurairah. Lihat: Al Lu’lu’u wal Marjan
(846) dan Shahihul Jami’ (3430)).
Hadits ini mengisyaratkan tentang Bani
Israel dalam kisah penyembelihan lembu dan pertanyaan mereka
berlebih-lebihan: “Bagaimana bentuknya?, bagaimana warnanya?,
bagaimana….?” (Lihat Qs al-Baqarah: 67-71). Seandainya mereka langsung
menyembelih lembu yang mana saja setelah perintah yang pertama, niscaya
sudah cukup. Tetapi mereka mempersulit diri maka Allah pun mempersulit
mereka.
Anas ra meriwayatkan bahwa Rasulullah
pernah ditanya oleh para sahabat dengan pertanyaan yang bertubi-tubi
sampai membuat Rasulullah marah. Kemudian beliau naik mimbar seraya
bersabda: “Janganlah kalian bertanya tentang sesuatu kepadaku pada hari ini kecuali apa yang telah aku jelaskan kepada kalian”.
Anas ra berkata: Kemudian aku layangkan pandangan ke kanan dan ke kiri
tiba-tiba setiap orang mengusap mukanya dengan pakaiannya karena
menangis… Kemudian Umar ra bangkit seraya berkata: “Kami telah ridha Allah sebagai Rabb, Islam sebagai Din, dan Muhammad sebagai Rasul. Kami berlindung kepada Allah dari fitnah”. (Muttafaq ‘alaih, Al Lu’lu’u wal Marjan (1523)).
Peristiwa ini menjadi pelajaran berharga
bagi para sahabat sehingga setelah itu mereka tidak mau bertanya kecuali
hal-hal yang memang perlu ditanyakan.
Hal ini nampak dari pertanyaan-pertanyaan
mereka kepada Nabi saw yang dicatat oleh al-Qur’an, tidak lebih dari
tigabelas pertanyaan yang sebagian besar berkenaan dengan
masalah-masalah praktis (terapan).
Demikian pula jawaban mereka terhadap
setiap pertanyaan yang diajukan. Mereka selalu memberikan jawaban yang
memudahkan tidak menyulitkan, memberikan kabar gembira tidak membuat
orang lari, sebagaimana wasiat Rasulullah saw kepada mereka.
Prinsip umum yang dianut oleh para sahabat ialah tashil (memudahkan) dan musamahah
(toleransi) dalam masalah furu’iah. Mereka menghindari kajian-kajian
yang terlalu njlimet (rumit) dan terlalu mendalam, sehingga tidak
membuat kemudahan menjadi kesulitan, dan kelapangan menjadi kesempitan.
Padahal Allah telah meniadakan hal itu dari Din-Nya: “Dan tidaklah Dia menjadikan untuk kamu suatu kesempitan dalam agama”. (Qs al-Hajj: 78).
Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya
sampai kepada Yusuf bin Mahik, ia berkata: “Pada waktu aku berada di
sisi Aisyah Ummul Mu’minin ra datanglah seorang Irak kepadanya kemudian
bertanya: “Kain kafan apakah yang paling baik?”. Aisyah ra menjawab:
“Apa salahmu sampai bertanya begitu?”. Orang itu berkata: “Wahai Ummul
Mu’minin, perlihatkanlah mushafmu kepadaku”. Aisyah ra berkata:
“Kenapa?”. Orang itu berkata: “Agar aku membaca al-Qur’an sesuai
dengannya karena ia dibaca tidak tertib”. Aisyah berkata: “Apa salahnya
dengan bacaanmu terdahulu?”. (Diriwayatkan oleh Bukhari (4993). Lihat
Fathul Bary, 9/38-39).
Al-Hafizh di dalam Fathul Bary berkata:
“Barangkali orang Irak ini pernah mendengar hadits Samurah yang Marfu’
(bersambung sanad-nya kepada Nabi saw): “Pakailah pakaian putih dan pakailah ia untuk mengkafankan mayat-mayat kalian karena lebih bersih dan baik”.
Hadits ini dishahihkan oleh Turmudzi dan diriwayatkan oleh Ibnu Abbas.
Kemungkinan orang Irak tersebut pernah mendengar hadits ini kemudian
ingin mengecek kebenarannya dari Aisyah ra. Karena penduduk Irak
terkenal dengan banyak bertanya, maka Aisyah ra berkata kepadanya: “Apa
salahmu?”, maknanya dengan kain kafan apa saja sudah cukup. Dalam pada
itu perkataan Ibnu Umar kepada orang yang bertanya kepadanya tentang
darah nyamuk sudah sangat masyhur. Ia berkata: “Perhatikanlah penduduk Irak, mereka bertanya tentang darah nyamuk padahal mereka pernah membunuh cucu Rasulullah saw”. (Fathul Bary, 9/39).
Mengapa ia meminta mushaf Ummul Mu’minin
untuk dijadikan pedoman bacaannya? Nampaknya ia bertanya tentang tertib
surat, karena mushafnya tidak tersusun sesuai tertib Mushaf Utsmani,
tetapi tersusun sesuai Mushaf Ibnu Mas’ud. Sebab antara tertib Mushaf
Utsmani dengan tertib Mushaf Ibnu mas’ud tidak sama.
Sekalipun demikian, Aisyah ra dalam hal
ini tidak memandang sebagai bahaya besar bahkan ia berkata: “Apa
salahnya dengan bacaanmu terdahulu?”.
Al ‘Allamah Ad Dahlawi di dalam kitabnya
Hujjatullahil Balighah menjelaskan kemudahan dan kesederhanaan para
sahabat dalam memahami dan mengamalkan Islam ini. Katanya: “Rasulullah
saw melakukan wudu’ dengan disaksikan oleh para sahabat kemudian para
sahabat mengikutinya tanpa dijelaskan bahwa ini rukunn dan itu sunnah.
Rasulullah saw shalat dengan disaksikan oleh para sahabat kemudian
mereka mengikuti cara shalat sebagaimana yang mereka lihat. Rasulullah
saw melaksanakan haji kemudian mereka pun melaksanakan haji sebagaimana
dilakukan oleh Nabi saw. Demikian hampir seluruh amaliah Rasulullah saw.
Beliau tidak menjelaskan bahwa fardhu wudhu ada enam atau empat. Juga
tidak mengandaikan adanya orang yang berwudhu secara tidak tertib
sehingga dinyatakan sah atau batal. Demikian pula para sahabat. Jarang
sekali mereka bertanya tentang hal-hal semacam ini.
Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata: “Aku
tidak melihat suatu kaum yang lebih baik dari para sahabat Rasulullah
saw. Mereka tidak pernah bertanya kepadanya kecuali tentang tigabelas
masalah hingga Nabi saw meninggal. Ketigabelas masalah itu semuanya
tersebut di dalam al-Qur’an, diantaranya: “Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan haram. Katakanlah: “Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar…”.
(Qs al-Baqarah: 217). Ibnu Abbas berkata: Mereka tidak pernah bertanya
kepadanya kecuali tentang sesuatu yang bermanfaat bagi mereka”.
Ibnu Umar berkata: “Janganlah kamu
bertanya tentang sesuatu yang tidak terjadi karena aku pernah mendengar
Umar bin Khatab melaknati orang yang bertanya tentang sesuatu yang tidak
terjadi”.
Al-Qasim berkata: “Sesungguhnya kalian
bertanya tentang sesuatu yang tidak kami ketahui dan mengkaji terlalu
mendalam hal-hal yang tidak pernah kami kaji. Kalian bertanya tentang
banyak hal yang tidak aku ketahui. Seandainya telah diajarkan kepada
kami tentang hal-hal itu pasti kami tidak boleh menyembunyikannya”.
Dari Umar bin Ishaq, ia berkata: “Aku
tidak melihat suatu kaum yang lebih mudah dan gamblang sirahnya daripada
para sahabat Rasulullah saw”.
Dari Ubaidah bin Yasar al-Kindi, ia
ditanya tentang seorang wanita yang meninggal ditengah suatu kaum yang
tidak mempunyai wali (pemimpin), lalu ia menjawab: “Aku belum pernah
melihat suatu kaum yang menyulitkan diri seperti kalian dan bertanya
seperti pertanyaan kalian”. Atsar-atsar ini diriwayatkan oleh ad-Darami.
(Hujjatullahi al-Balighah, 1/140, 141).